JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Wakil Ketua Komisi Pendidikan (Komisi X) DPR, Abdul Fikri Faqih, mengatakan keberadaan lembaga yang membidangi urusan ideologi Pancasila semestinya tak berupaya membuat tafsir tunggal atas Pancasila. Pasalnya, kebijakan seperti itu pernah mengalami perlawanan dari rakyat di zaman Orde Baru
Melalui Badan Penyelenggara Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7), rezim Soeharto saat itu menjadikan tafsir terhadap Pancasila sebagai alat untuk membenarkan dan memperkuat otoritarianisme kekuasaannya.
"Kalau secara kelembagaan kita punya pengalaman BP7 dengan segudang kegiatan yang rapi saja sejak era reformasi sudah dibubarkan, karena dianggap bahwa Orba (orde baru) menjadikan Pancasila sebagai alat untuk menekan elemen yang kritis terhadap pemerintah saat itu," kata Fikri saat dihubungi, Rabu, 5 Agustus 2020.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini menuturkan, keberadaan lembaga yang memiliki tugas dan fungsi yang sama dengan BP7, yakni Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), jangan sampai mengulang pengalaman buruk masa orde baru tersebut.
Meski belakangan Rancangan Undang-Undang BPIP telah diputuskan pemerintah sebagai penawar atas kisruh RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP), kekhawatiran masyarakat terhadap sejumlah masalah yang ada pada RUU HIP tetap saja masih membekas.
"Sebaiknya tidak ada lagi lembaga yang mengarahkan kepada penafsir tunggal terhadap Pancasila. Apalagi didahului dengan usaha penafsiran Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila dalam RUU HIP yang malah memicu perbenturan horisontal antar anak bangsa ini," kata Fikri.
Wakil ketua BPIP Prof Haryono (tengah-depan) bersama jajaran karyawan BPIP
Untuk itu, Fikri meminta pemerintah dan DPR mendinginkan terlebih dulu pembahasan RUU BPIP sambil mencari format yang tepat untuk menjaga nilai-nilai Pancasila. Bahkan, Fikri meyakini nilai-nilai Pancasila sebenarnya muncul secara natural dari masyarakat Indonesia.
"Kalau buru-buru maka hasilnya malah destruksi terhadap Pembangunan berasas Pancasila. Apalagi sekarang malah terkesan menurunkan derajat Pancasila sebagai dasar negara, karena diatur dengan UU," ujarnya.
Menurut Fikri, substansi Pancasila sudah bersifat final sehingga tak lagi perlu diatur oleh UU. "Jangan malah membuka luka lama dengan memunculkan kembali substansi bakal dasar negara yang tak terakomodasi kala itu," kata dia.